“Ma, Ayah benernya sekarang ada di mana sih?”,Tanya Satia. Mata anak kecil itu memandang dengan lembut kepada ibunya, namun tak dapat dipungkiri mata itu juga berbicara tentang ratapannya yang mendalam terhadap kerinduannya kepada ayahnya. Alex, ibunya, terdiam sesaat. Kini keheningan itu Alex rasakan lagi. Sudah berkali-kali pertanyaan ini diajukan oleh Satia, dan selalu, Alex tak pernah sekalipun bisa melewatkan keheningan ini. Keheningan yang sangat menyiksa bagi Alex, apalagi keheningan itu ditemani dengan tatapan Satia yang menambah rasa derita hatinya. Setelah dirasa hatinya siap, Alex lalu menjawab , “Ayahmu sedang pergi sementara nak, saat semua urusannya selesai, pasti Ayahmu akan datang menemui kita, kita harus sabar yah nak, kita harus selalu bersiap diri, jadi saat nanti Ayahmu datang, kita bisa menyambutnya dengan senyum yang lebar”. Jawaban itulah, yang selalu Alex berikan. Dan Satia pun mengerti, selalu mengerti. Ia tak pernah bosan akan jawaban yang diberikan ibunya. Ia selalu mempercayai kata-kata ibunya. Meski setelah itu ia pun sedih, karena setelah pertanyaan itu terjawab, ibunya hanya bisa terdiam dan menangis. “Ma, kenapa mama nangis lagi?jangan nangis, Ma.” Berulang-ulang Satia mengucapkan kalimat itu kepada ibunya sembari menggoncang-goncangkan tubuh rapuh ibunya. Tapi, sekeras apapun usaha yang dilakukan Satia, tidak pernah bisa menghentikan rintikan air mata ibunya. Saat ini yang Satia tahu dan bisa lakukan adalah berbaring dan lalu mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya yang mungil, seakan takut hancur diterkam malam. Alex menyadari malaikat kecilnya sudah terbaring lelap dalam tidurnya, ia lalu mengusap air matanya , dengan tangan kanannya ia membuat tanda salib seperti biasanya dan mulai terhanyut dalam lantunan doa. Setelah kata “amin” terucap dari bibir alex, ia membuka mata lalu juga dengan tangan kanannya ia memberikan tanda salib pada Satia dan mengecup keningnya sebagai pengganti kalimat “selamat tidur nak”. Alex beranjak dari ranjang malaikat kecilnya itu lalu mematikan lampu kemudian menjatuhkan diri ke dalam pelukan ranjangnya sendiri , dan tidak butuh waktu lama setelah itu, ia sudah terbawa alunan indah mimpi malam itu, tentangnya, Satia, dan kekasih hatinya Hary.
…………………………………………………………………………………………..
Hary menatap diam botol minuman keras yang baru saja ia tenggak. Kepalanya terasa berputar-putar tak karuan. Entah sudah berapa botol minuman keras ia habiskan malam ini, yang pasti, bisa membuat orang yang baru pertama kali minum pingsan di tempat. Tegukan lain membuat Hary makin terperosok dalam jurang ketidaksadaran. Matanya sudah kabur untuk melihat sekeliling, dan nampaknya ia pun sudah tak mampu lagi untuk bisa berdiri. Organ-organ tubuhnya yang sudah kelelahan seakan berteriak minta tolong, namun tetap saja semua itu ia indahkan, tegukan-tegukan lain pun datang menyusul seiring dengan tarian kematian dari asap rokok yang ia hisap mengitari kepalanya. Hary mencoba bangkit dari tempatnya lalu menengadahlah ia ke atas melihat langit, seraya berkata “Tuhan, kenapa?”. Tak berani ia menambahkan kata-kata dalam pertanyaannya, ia terlalu takut dan percaya pada Tuhan. Tuhan pasti memberikan jalan yang terbaik bagi setiap mahluknya. Dan setelah merasa tidak mendapat jawaban, kembali ia terjatuh, terduduk, dan menunduk untuk kembali dalam renungan kelamnya. Ia tampak sangat tidak menikmati “ritual” malam itu dan memang seperti dalam malam-malam lainnya, kenikmatan dari “ritual” yang bisa dirasakan orang-orang lain sepertinya, tidak pernah bisa ia rasakan. Hanya kepedihan, kesedihan, dan kesepian. Itulah santap malam yang bisa ia berikan buat hati kecilnya. Tak terasa, akhirnya botol terakhir telah habis ia tenggak. Kini Hary semakin tergolek lemas di tanah, alkohol yang berenang senang dalam aliran darah di seluruh tubuhnya telah mengambil alih segala kontrol atas dirinya. Dalam keadaannya sekarang, Hary masih saja terngiang-ngiang semuanya, hal yang sangat menyiksanya, kenangan. Hary selalu merasa bahwa dirinya bukan dia yang kenal dulu, saat semua masih ada baginya, saat kekasih tercintanya Alex, dan buah hatinya yang tersayang Satia, ada buat dia kapanpun, yang ia pikir selamanya, namun dalam kenyataan, tidak.
……………………………………………………………………………………………
Matahari yang bersinar terang di hari minggu itu, membangunkan Hary melalui kilauan-kilauan terangnya dalam celah-celah kosong ventilasi dan jendela kamar Hary. Dengan berat Hary mengayunkan kedua tangannya menuju mata, lalu mengucek kedua matanya sembari menguap lebar-lebar. Dengan kembalinya kesadaran Hary, dirasakannya efek minuman yang ia habiskan tadi malam. Berat rasanya bangun dari tempat tidurnya. Badannya kini mati rasa, meskipun kesadarannya telah kembali kepadanya penuh. Denyut-denyut nadinya membawa sekerumpunan darah yang berkeliaran menuju otak, menambah siksaan bagi Hary pagi itu. Setengah jam lamanya ia terdiam dan terbawa alunan nyeri di kepala dan seluruh tubuhnya. Ia pun mencoba untuk kembali bangun dari baringannya saat ini. Dan setelah 3 kali mencoba, akhirnya ia mampu untuk berdiri di atas kedua kakinya sendiri, walau rasa lemas masih dirasanya. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke arah kulkas, mencari sekedar seteguk air putih untuk meredakan nyeri di kepalanya. Hary kemudian duduk di meja makan yang berada di dekat dapurnya, sembari tetap meminum air putihnya yang sudah ada di genggamannya. Meja makan itu memiliki tiga kursi melingkar memenuhi meja tersebut. Pastinya, sebelum ini, setiap pagi ia selalu ditemani oleh orang lain di meja makan, sekedar untuk berkumpul dan menikmati sarapan pagi bersama. Ia rasakan lagi kepedihan di hatinya mengingat semua kenangan yang ada di meja makan itu. Semua terasa kian menyedihkan bagi Hary, saat dia melihat lagi susunan seperangkat peralatan makan balita yang ada di lemari penyimpanan yang ada di dekat meja makan. Ia ingat bagaimana tiap paginya ia dulu dapat melihat kebersamaan antara kekasih hatinya dan anak semata wayangnya. Seruan manja Satia, di iringi dengan ucapan-ucapan lembut dari bibir Alex. Semuanya sangat ia rindukan. Tak terasa, air matanya pun turut turun sejalan dengan ingatannya yang kembali menguat akan kenangan-kenangan yang dulu pernah ia rasakan.
……………………………………………………………………………………………
“Ma, Ma, bangun Ma!”, teriak Satia, sambil menggoyang-goyang tubuh ibunya. “Ma, ayo bangun, pagi ini mama janji mau ngajak Satia jalan-jalan keluar kan? Masa hari ini batal lagi?”,tambahnya. Perlahan-lahan Alex mencoba membuka matanya. Dari sinar cahaya matahari ventilasi kamarnya, ia dapat dengan cepat menyimpulkan bahwa hari itu masih subuh, ketika pergantian antara gelap dan dinginnya malam dengan terang dan hangatnya pagi. Langit yang mulai menampakkan terang seolah menandakan bahwa hari itu siap dimulai, dan Alex pun segera bangkit seraya tersenyum kepada Satia dan berkata “ Selamat pagi nak.”, yang disambut pula oleh tawa Satia yang polos, yang artinya hari ini ia bisa berjalan-jalan dengan ibunya mengawali hari yang semoga saja indah ini. Setelah Alex membasuh mukanya dan bersiap diri, ia lalu membantu Satia juga bersiap-siap. Setelah dirasa telah siap, mereka pun berangkat.
Di perjalanan itu, Alex tersenyum. Ia sangat senang dapat melihat tawa Satia, anak kecilnya yang sangat ia sayangi. Senyum Satia senantiasa tersungging dalam langkahnya pagi ini. Dalam diam, ia pun bergumam, “Coba Hary ada di sini, mungkin ia bisa menemaniku di saat seperti ini. Dan mungkin, Satia pun akan lebih bisa banyak tersenyum dan tertawa.” Raut muram sedikit terbaca dalam wajah raut Alex. Untung saja kali ini Satia tidak begitu memperhatikan, sepertinya ia terlalu gembira pagi ini. Matahari yang cerah, dan udara yang masih sangat segar, menambah ceria di hati Satia. Sesekali ia berlari-lari kecil di depan ibunya, sungguh pemandangan yang bagi Alex sangat ia rindukan. Memang sudha lama ia dan Satia tidak bisa berjalan-jalan seperti layaknya hari ini. Melihat itu, Alex mencoba tidak menggubris apa yang sedang ia pikirkan tentang Hary sekarang, agar ia dapat fokus menyenangkan hati Satia pagi ini, dan mencoba tidak mengingatkan Satia pada sosok ayahnya. “Ma, mama kenapa? Kok bengong gitu? Mama capek ya?, Tanya Satia. “Gak dek, gapapa kok. Mama cuma agak masih ngantuk aja.” Jawab Alex sambil mencoba tersenyum. “kalo gitu pulang yuk ma, Satia yang agak udah capek, hehe”. Rengek satia. Alex tersenyum, kemudian menggandeng tangan Satia menuju rumah.
Lagu “air mata kemegahan” berbunyi nyaring dari handphone Alex. Ia mencoba untuk meraihnya dalam genggamannya. Yah, alarm handphone milik Alex berbunyi. Sontak ia terkaget dan bangun dari tidurnya. Dengan panik, ia melihat sekitarnya. Satia? Ia pun tersadar bahwa semuanya hanya sekedar mimpi. Tangan Satia yang selalu ia genggam erat, kening Satia yang selalu ia kecup, tawa Satia yang selalu ia lihat, dan semuanya. Hanya ada dalam mimpi tadi malam. Tangis ia rasakan turun dari kedua mata cantiknya. Kembali ia mengecek ponselnya. Sms dari Robert, kekasihnya sekarang.
……………………………………………………………………………………………
Lagu “air mata kemegahan” berbunyi lewat ponsel milik Hary. Diceknya ponsel itu dan dimatikannya alarm ponselnya seraya mencoba bangun dari tidurnya yang lelap semalam. “mimpi itu lagi”,gumam Hary. Ternyata kejadian ia masih memimpikan saat-saat ia ditinggalkan oleh kedua orang yang sangat dicintainya. Betapa terpuruknya dia saat itu. Dalam tenang, ia mencoba untuk dapat mengingat raut Satia, anak yang tak pernah ia lihat selama hidupnya. Kejadian 9 bulan yang lalu, saat ia dan Alex akhirnya memutuskan untuk menggugurkan kandungan yang ada di rahim Alex, demi keberlangsungan kehidupan Alex lebih baik. Dosa yang ia rasakan tak pernah bisa Hary tebus dengan cara apapun. Kehilangan dan rasa bersalah selalu menghantui hidupnya sampai sekarang. Kesalahan yang berujung pada kesedihan yang bernaung di hatinya sampai akhir nanti. Sekarang semuanya memang sudah benar-benar berakhir. Antara ia dan Alex. Ia rela dan ikhlas Alex bahagia dengan orang yang ia sayangi sekarang, Robert. Kesepian yang ia rasakan karena kehilangan Satia, ia bawa seumur hidup. Semuanya hanya bisa ia rasakan dalam mimpi dan khayalan yang mana tiap kali ia tersadar, ia tahu bahwa semuanya tak mungkin bisa terjadi sampai kapanpun. Air matanya pun turun. Ia sangat rindu pada Satia sekarang.
……………………………………………………………………………………………
Hary berjalan menuju kasir operator di warnet yang ia singgahi sebentar untuk sekedar menulis di blognya. Sampai ia sadar, bahwa perempuan yang ada di hadapannya yang sedang juga ikut membayar adalah Alex. Mereka berdua terdiam. Hary membayar lebih dulu, lalu memalingkan muka dari Alex dan secepatnya meninggalkan warnet itu. Alex pun terdiam melihat Hary di sana. “hei, jadi berangkat sekarang gak?” Tanya Robert. Alex mengangguk. Hary sekarang sudah pergi entah ke mana, Alex pun tak tahu. Yang pasti mereka berdua telah menjalani kehidupan mereka masing-masing, entah bahagia atau tidak, mereka telah mencoba untuk menghadapi dunia dan menerabas hidup.